Rabu, 06 Mei 2009

PEMIKIRAN PARA FILSUF DARI WAKTU KE WAKTU

Oleh : Gadis Zhepa Devi

Dalam sejarah, filsafat secara garis besar dapat digolongkan sesuai zaman atau era ke dalam kelompok sebagai berikut :
1. Filsafat Kuno/ Klasik
2. Filsafat Abad Pertengahan
3. Filsafat Modern dan Kontemporer
Di masa-masa tersebut munculah para filsuf yang menonjol dari masing-masing zaman. Tetapi pemikiran-pemikiran para filsuf saling mengisi antara yang satu dengan yang lain. Untuk mengetahui pendapat-pendapat para filsuf tersebut kurang lebih dapat dipaparkan sebagai berikut.

1. Filsafat Kuno
Filsafat kuno melahirkan filsuf-filsuf yang pemikirannya cukup menggebrak, diantaranya adalah:

a. Thales (624-546)
Berasal dari Mellitus, Thales digelari Bapak Filsafat karena dia adalah perintis dalam berfilsafat. Gelar tersebut diberikan karena ia mengajukan pertanyaan yang jarang diperhatikan orang lain apalagi di zaman sekarang. Pertanyaan tersebut adalah “Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini?” Thales berpendapat bahwa bahan utama dari alam semesta ini adalah air.

b. Heraclitus (540-460)
Heraclitus berpendapat bahwa di dunia ini segala sesuatunya mengalami perubahan, tidak ada yang tetap. Untuk dasar dari alam semesta menerut Heraclitus berasal dari api. Heraclitus berpendapat bahwa api selalu bergerak dan berubah dan tidak tetap. Sehingga ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi keterangan dari sedalam-dalamnya adalah yang dapat bergerak atau berubah. Penyelidikan Heraklitus lebih mendalam dari pada para pendahulunya. Di sini dia mencoba member keterangan pada keterangan ada yang sebenarnya, ada menurut Haraclitus adalah tidak terdapat. Paham relativitas semakin mendasar setelah Heraclitus berpendapat bahwa alam semesta selalu berubah , sesuatu yang dingin bisa menjadi panas dan juga sebaliknya.

c. Permenides (540-?)
Permenides adalah tokoh relativisme yang penting, selain itu dia juga dikatakan sebagai lawan pertama dalam sejarah filsafat. Bahkan dapat disebut filsuf pertama dalam pengertian modern. Permenides mengatkui adanya pengetahuan yang bersifat tidak tetap dan berubah-ubah serta pengetahuan mengenai yang tetap adalah pengetahuan indera dan pengetahuan budi. Pengetahuan indera tidak dapat dipercaya karena beberapa kali orang tidak dapat menemukan kebenaran dengan mengikuti inderanya. Menurutnya pengetahuan itu ada dua yaitu pengetahuan yang sebenarnya dan pengetahuan yang bersifat semu. Sebab itu yang dimaksud dengan realitas bukanlah yang berubah dan bergerak serta beralih dan bermacikuti inderanya. Menurutnya pengetahuan itu ada dua yaitu pengetahuan yang sebenarnya dan pengetahuan yang bersifat semu. Sebab itu yang dimaksud dengan realitas bukanlah yang berubah dan bergerak serta beralih dan bermacam-macam melainkan yang tetap. Realitas bukanlah menjadi melainkan ada.

d. Socrates (470-399)
Ajaran Socrates dipusatkan pada manusia, ia mencari pengertian yang murni dan sebenarnya. Adapun caranya adalah dengan mengamati yang konkrit dan bermacam-macam objeknya maka timbul pengertian yang sejati itu. Itulah sebabnya Socrates harus bangkit dan menyakinkan orang-orang bahwa tidak semua kebenaran itu relative. Ada kebenaran yang umum dipegang oleh semua orang. Pemuda-pemuda Athena pada saat itu dipimpin oleh doktrin relativismedari kaum sofis, sedangkan Socrates adalah seorang penganut moral yang absolutdan meyakini bahwa menegakkan moral merupakan tugas filosof, yang berdasarkan ide-ide rasional dan keahlian dalam pengetahuan. Socrates memulai filsafatnya dengan sesuatu yang berbeda dari pengalaman sehai dan keahlian dalam pengetahuan. Socrates memulai filsafatnya dengan sesuatu yang berbeda dari pengalaman sehari-hari. Akan tetapi ada perbedaaan yang amat penting antara sofis dan Socrates.

e. Plato (428-347)
Plato adalah seorang murid dan teman dari Socrates, memperkuat pendapat dari gurunya itu menurut Plato kebenaran umum itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif seperti Socrates. Pengertian yang umum itu sudah ada dalam ide. Bagaimana manusia mencapai ide. Menurut Plato jiwa manusia itu dahulu ada di dunia ide. Jiwa yang kenal akan ide dan sekarang bertemu dengan bayang-bayangnya, maka akan teringat akan ide yang dulu pernah dikenalnya. Jadi menurut Plato mencapai pengertian (ide) di dunia pengalaman ini tidak lain daripada ingat.

f. Aristoteles (384-322)
Ajaran Aristoteles tentang logika berdasarkan atas ajaran tentang jalan pikiran dan bukti. Jalan pikiran baginya berupa putusan dua yang tersusun sehingga melahirkan keputusan yang ketiga. Untuk menggunakan syllogismus dengan baik harus diketahui dengan benar sifat dari keputusan itu sendiri. Menurut Aristoteles yang sungguh-sungguh ada itu bukanlah yang umum, melainkan diri kita sendiri yang sebenarnya. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat gurunya. Dunia ide rc

2. Filsafat Abad Pertengahan
Permulaan abad pertengahan dapat dimulai sejak Platinus yang selanjutnya diikuti oleh para filsuf lainnya.

a. Plotinus (205-270)
Filsafat Plotinus mendasarkan pendapat nya pada filsafat Plato terutama dalam ajarannya tentang idea tertinggi baik atau kebenaran. Itulah sebabnya maka filsafat Plotinus merupakan platonismme. Walaupun Plotinus mempergunakan istilah-istilah Plato dan mempergunakan juga dasar-dasar pikirannya, akan tetapi ia memajukan banyak banyak hal yang sebelumnya tidak diselikidi oleh filsafat Kuno (Yunani). Oleh Plotinus pikiran diarahkan pada Tuhan dan Tuhanlah yang menjadi dasar dari sesuatu.

b. St. Augustine (354-430)
Ajaran Augustinus lebih memperlihatkan system yang merupakan keseluruhan. Dalam logikanya Augustinus memerangi skeptic, menurut pendapatnya skeptis mengandung pertentangan dan kemustahilan. Skeptis menganjurkan serba keragu-raguan tentang segalanya. Menurut Augustinus dalam budi mencapai kebenaran dan kepastian. Kebenaran dan kepastian itu dipaparkan dengan putusan-putusan yang benar dan tidak berubah. Realitas itu harus rohani dan merupakan pesona sumber segala hidup dan berfikir.

c. Amselmus (1033-1109)
Menurut Amselmus budi dapat dipergunakan dan harus dipergunakan dalam keagamaan. Itu tidak berarti berarti bahwa budi saja dapat mencapai kebenaran keagamaan seluruhnya. Bahkan agama dan kebenaran dapat menolong budi, ssehingga demi kepercayaan orang mempunyai pengertian-pengertian lebih jelas. Hubungan budi dan kepercayaan dirumuskan oleh Anselmus sebagai “kepercayaan mencari budi”. Maksudnya adalah orang yang mempunyai kepercayaan agama itu mungkin lebih mengerti tentang sesuatu. Agama menolong dia untuk lebih mengerti tentang Tuhan, manusia dan dunia.

d. Thomas Aquinas (1225-1308)
Menurut Thomas Tuhan menciptakan segala sesuatu tanpa mempergunakan bahan. Oleh karena itu Tuhan Maha Baik, kebaikan yang sempurna maka segala sesuatu yang diciptakanNya juga baik. Dalam system Thomas memang boleh dikatakan ada dualisme dalam manusia, tetapi dualisme ini merupakan kesatuan bukanlah dualisme yang pararel. Jika kesatuann jiwa dan badan itu demikian erat maka dengan sendirinya tidak ada suatu pengetahuan masuk ke dalam akal jika tidak melalui badan lebih dulu. Bagi Thomas ini merupakan patokan yang sangat jelas.


3. Filsafat Modern dan Kontemporer
Yang menjadi dasar aliran baru ini adalah kesadaran atas individual dan konkrit. Yang utama ialah pengetahuan tentang satu per satu sebabb pengetahuan ini mencapai hal yang sebenarnya. Ilmu mempunyai objek satu per satu bukanlah umum. Adapun tokoh yang menjadi perhatian pada masa ini antara lain :

a. Francis Bacon (1561-1626)
Sebagai pejabat tinggi Bacon tidak terlalu mengutamakan kebenaran yang terpenting baginya adalah gunannya. Dengan demikian bagi Bacon cara mencapai pengetahuan itu segera Nampak dengan jelas. Pengetahuan itu dicapai dengan induksi, karena sudah terlalu lama Bacon terpengaruh oleh system deduktif. Dalam hidup ini orang masih juga mempergunakan hal-hal yang umum dan mutlak. Tetapi itu sebenarnya adalah sebuah kekeliruan, Bacon menyebut hal tersebut dengan istilah idol.

b. Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes adalah anak seorang pendeta yang tertarik pada kesusastraan dan filsafat, dia mengikuti nomensalisme. Bukanlah yang abstrak dan umum yang sungguh-sungguh ada. Pengertian umum itu hanya nama belaka, yang sesungguhnya ada ialah hal itu sendiri. Ada yang menyebut Hobbes sebagai aliran sensualisme karena dia mengutamakan indera dalam pengetahuan. Tetapi dalam hal ini dapat dianggap salah oleh kaum empirisme yang mengatakan bahwa hubungan dengan indera itulah yang menjadi pangkal dari pengetahuan.

c. Immanuel Kant (1724-1804)
Pada awalnya Immanuel Kant menganut rasionalisme tetapi karena terinspirasi oleh Hume dia akhirnya menganut empirisme. Meskipun begitu empirisme tidak diterimanya begitu saja karena diketahui bahwa empirisme membawa keragu-keraguan dalam budi. Kant mengakui kebenaran ilmu, dia mengakui bahwa budii dapat mencapai kebenaran. Ada syarat-syarat untuk mencapai kebenaran tersebut. Maka Kant menyelidiki pengetahuan budi serta akan diterangkan apa sebabnya pengetahuan budi tersebut ada. Itulah sebabnya aliran ini disebut kriticisme. Pengetahuan dipaparkan dengan keputusan maka itulah yang diselidiki terlebih dahulu mengenai sifat-sifat keputusan. Keputusan merupakan rangkaian pengertian subjek dan predikat. Rangkaian itu mungkin analistik yaitu jika predikatnya sudah tercantum dengan mengikuti subjeknya. Tetapi keputusan yang analitik itu sebenarnya bagi subjek tidak menambah sesuatu yang baru. Keputusan sintetik ini dicapai orang melalui pengalaman, setelah ada pengalaman orang dapat membuat keputusan. Adapun keputusan analitik diambil setiap individu tidak melalui pengalaman cukup dengan menganalisa saja.

d. Auguste Comte (1798-1857)
Menurut Comte supaya tercipta masyarakat baru yang teratur, haruslah terlebih dahulu diperbaiki jiwa atau budinya. Adapun budi tersebut mengalami tiga tingkatan dan tingkatan tersebut terdapat dalam hidup manusia dan sejarah manusia. Tingkat pertama adalah teologi yang menerangkan segalanya dengan pengaruh dan sebab yang melebihi kodrat. Tingkat kedua adalah metafisika yang hendak menerangkan segala sesuatunya melalui abstraksi. Tingkat ketiga yaitu positif yang menghiraukan yang sebenarnya serta sebab akibat yang sudah ditentukan. Saat ini haruslah menggunakan ilmu secara positif, dan yang bersifat tidak positif haruslah kita tinggalkan.




Sumber :
Prof.I.R.Poedjawijatna.2002.Pembimbing ke Arah Alam Filsafat.Jakarta:Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar